Kamis, 04 Oktober 2012

Indahnya Menyerukan Kebaikan

 
Di tendanya yang mewah dan indah, Rustum, panglima Persia yang gagah perkasa menemui Rib’i bin Amir, utusan kaum muslimin yang datang dengan penampilan sangat bersahaja namun penuh karisma.
“Apakah gerangan yang membuat Anda datang kemari?” tanya Rustum.
Rib’i menjawab dengan tenang. “Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia yang dikehendaki-Nya dari penghambaan terhadap sesama hamba, kepada penghambaan kepada Allah. Dari kesempitan dunia kepada keluasannya. Dari kezaliman kepada keadilan Al-Islam.”

Memasuki markas Jenderal Rustum, yang dikenal sebagai panglima perang Persia yang sangat berpengalaman, menembus perkemahan yang dihuni puluhan ribu tentara dengan persenjataan lengkap, pastinya sebuah pengalaman yang sangat mendebarkan. Akan tetapi, Rib’i bin Amir melakukan semua itu dengan penuh keberanian. Apakah yang membuat sosok itu begitu ‘nekad’ menyambangi markas musuh?
Ya, sebuah gairah yang luar biasa untuk menyerukan dakwah Islam secara damai. Rib’i sangat memahami, bahwa dakwah—menyeru, mengajak, dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah SWT—adalah kewajiban setiap kaum muslimin. Siapapun dia, dan apapun profesinya. Ada sebuah kalimat indah yang berbunyi: Nahnu du’at qabla kulli syai’in. Artinya, kami adalah da’i (penyeru) sebelum menjadi siapapun. Dengan demikian, siapapun dia: dokter, wartawan, pengusaha, atau profesi apapun, semestinya ia harus lebih dahulu memproklamirkan diri sebagai seorang da’i—penyeru, yang dengan sigap menerima perintah Rasulullah, “Sampaikanlah apa yang dariku walau hanya satu ayat.” (H.R. Bukhari).
Allah berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).
Apalagi, jika kita runut lebih jauh, ternyata dakwah bulan lagi sekadar kewajiban yang dibebankan, namun juga telah menjadi kebutuhan kita sebagai manusia. Allah berfirman, “Dan peliharalah dirimu dari fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim semata di antara kamu…” (Al-Anfal: 25).
Saat kita buka Tafsir Ibnu Katsir tentang ayat ini, ada sebuah ulasan yang mengejutkan. Maksud dari kata ‘fitnah’ adalah kerusakan, azab, atau musibah. Jadi, akan ada sebuah kerusakan, azab atau musibah, yang terjadi dan menimpa dengan merata, bukan saja kepada orang-orang yang zalim, tetapi juga yang beriman. Hal ini terjadi, karena orang-orang beriman tidak mau melakukan amar ma’ruf nahy munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan). Dalam sebuah hadist disebutkan,
“Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya, hendaklah kamu menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah kemunkaran, atau Allah menimpakan azab kepada kamu semua, lalu kamu berdoa, namun doa kalian tidak dikabulkan.” (HR. Ahmad).
Analogi tentang hal itu dijelaskan dengan sebuah kapal. Ketika terdapat sebuah kapal, kemudian karena ingin cepat mendapatkan air, orang-orang yang berada di lantai bawah memilih membolongi dinding kapal. Jika orang-orang yang berada di atas tidak mencegah peristiwa itu, ketika kapal karam akibat dinding kapal yang berlubang, maka tak hanya si pembolong yang tenggelam, tetapi seluruh penumpang.
Intinya, dakwah adalah sebuah misi mulia, yang harus diusung oleh siapapun. Dan untuk kewajiban ini, Allah memberikan pujian amalan dakwah sebagai sebaik-baik perkataan. “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" (QS. Fushshilat: 33).
Tampaknya tak perlu lagi ada pertanyaan, apakah Anda tertarik dengan profesi ini, karena semestinya profesi ini telah melekat kepada setiap jiwa.

Leave a Reply

Indahnya Menyerukan Kebaikan

 
Di tendanya yang mewah dan indah, Rustum, panglima Persia yang gagah perkasa menemui Rib’i bin Amir, utusan kaum muslimin yang datang dengan penampilan sangat bersahaja namun penuh karisma.
“Apakah gerangan yang membuat Anda datang kemari?” tanya Rustum.
Rib’i menjawab dengan tenang. “Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia yang dikehendaki-Nya dari penghambaan terhadap sesama hamba, kepada penghambaan kepada Allah. Dari kesempitan dunia kepada keluasannya. Dari kezaliman kepada keadilan Al-Islam.”

Memasuki markas Jenderal Rustum, yang dikenal sebagai panglima perang Persia yang sangat berpengalaman, menembus perkemahan yang dihuni puluhan ribu tentara dengan persenjataan lengkap, pastinya sebuah pengalaman yang sangat mendebarkan. Akan tetapi, Rib’i bin Amir melakukan semua itu dengan penuh keberanian. Apakah yang membuat sosok itu begitu ‘nekad’ menyambangi markas musuh?
Ya, sebuah gairah yang luar biasa untuk menyerukan dakwah Islam secara damai. Rib’i sangat memahami, bahwa dakwah—menyeru, mengajak, dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah SWT—adalah kewajiban setiap kaum muslimin. Siapapun dia, dan apapun profesinya. Ada sebuah kalimat indah yang berbunyi: Nahnu du’at qabla kulli syai’in. Artinya, kami adalah da’i (penyeru) sebelum menjadi siapapun. Dengan demikian, siapapun dia: dokter, wartawan, pengusaha, atau profesi apapun, semestinya ia harus lebih dahulu memproklamirkan diri sebagai seorang da’i—penyeru, yang dengan sigap menerima perintah Rasulullah, “Sampaikanlah apa yang dariku walau hanya satu ayat.” (H.R. Bukhari).
Allah berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).
Apalagi, jika kita runut lebih jauh, ternyata dakwah bulan lagi sekadar kewajiban yang dibebankan, namun juga telah menjadi kebutuhan kita sebagai manusia. Allah berfirman, “Dan peliharalah dirimu dari fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim semata di antara kamu…” (Al-Anfal: 25).
Saat kita buka Tafsir Ibnu Katsir tentang ayat ini, ada sebuah ulasan yang mengejutkan. Maksud dari kata ‘fitnah’ adalah kerusakan, azab, atau musibah. Jadi, akan ada sebuah kerusakan, azab atau musibah, yang terjadi dan menimpa dengan merata, bukan saja kepada orang-orang yang zalim, tetapi juga yang beriman. Hal ini terjadi, karena orang-orang beriman tidak mau melakukan amar ma’ruf nahy munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan). Dalam sebuah hadist disebutkan,
“Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya, hendaklah kamu menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah kemunkaran, atau Allah menimpakan azab kepada kamu semua, lalu kamu berdoa, namun doa kalian tidak dikabulkan.” (HR. Ahmad).
Analogi tentang hal itu dijelaskan dengan sebuah kapal. Ketika terdapat sebuah kapal, kemudian karena ingin cepat mendapatkan air, orang-orang yang berada di lantai bawah memilih membolongi dinding kapal. Jika orang-orang yang berada di atas tidak mencegah peristiwa itu, ketika kapal karam akibat dinding kapal yang berlubang, maka tak hanya si pembolong yang tenggelam, tetapi seluruh penumpang.
Intinya, dakwah adalah sebuah misi mulia, yang harus diusung oleh siapapun. Dan untuk kewajiban ini, Allah memberikan pujian amalan dakwah sebagai sebaik-baik perkataan. “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" (QS. Fushshilat: 33).
Tampaknya tak perlu lagi ada pertanyaan, apakah Anda tertarik dengan profesi ini, karena semestinya profesi ini telah melekat kepada setiap jiwa.

0 komentar:

Posting Komentar